Laman

Selasa, 06 April 2010

Globalisasi dan Indonesia 2030

Abad ke-21 adalah abad milik Asia. Pada tahun 2050 separuh lebih produk nasional bruto dunia bakal dikuasai Asia. China, menggusur Amerika Serikat, akan menjadi pemain terkuat dunia, diikuti India di posisi ketiga. Lalu, apa peran dan di mana posisi Indonesia waktu itu?

China dan India dengan segala ekspansinya, berdasarkan sejumlah parameter saat ini dan prediksi ke depan, sudah jelas adalah pemenang dalam medan pertarungan terbuka dunia di era globalisasi, di mana tidak ada lagi sekat-sekat bukan saja bagi pergerakan informasi, modal, barang, jasa, manusia, tetapi juga ideologi dan nasionalisme negara.

Globalisasi ekonomi dan globalisasi korporasi juga memunculkan barisan korporasi dan individu pemain global baru. Lima tahun lalu, 51 dari 100 kekuatan ekonomi terbesar sudah bukan lagi ada di tangan negara atau teritori, tetapi di tangan korporasi.

Pendapatan WalMart, jaringan perusahaan ritel AS, pada tahun 2001 sudah melampaui produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebagai negara. Penerimaan perusahaan minyak Royal Dutch Shell melampaui PDB Venezuela, salah satu anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang berpengaruh.

Pendapatan perusahaan mobil nomor satu dunia dari AS, General Motor, kira-kira sama dengan kombinasi PDB tiga negara: Selandia Baru, Irlandia, dan Hongaria. Perusahaan transnasional (TNCs) terbesar dunia, General Electric, menguasai aset 647,483 miliar dollar AS atau hampir tiga kali lipat PDB Indonesia.

Begitu besar kekuatan uang dan pengaruh yang dimiliki korporasi-korporasi ini sehingga mampu mengendalikan pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan dan menentukan arah pergerakan perdagangan dan perekonomian global.

Pada awal dekade 1990-an terdapat 37.000 TNCs dengan sekitar 170.000 perusahaan afiliasi yang tersebar di seluruh dunia. Tahun 2004 jumlah TNCs meningkat menjadi sekitar 70.000 dengan total afiliasi 690.000. Sekitar 75 persen TNCs ini berbasis di Amerika Utara, Eropa Barat, serta Jepang, dan 99 dari 100 TNCs terbesar juga dari negara maju.

Namun, belakangan pemain kelas dunia dari negara berkembang, terutama Asia, mulai menyembul di sana-sini. Dalam daftar 100 TNCs nonfinansial terbesar dunia (dari sisi aset) versi World Investment Report 2005, ada nama seperti Hutchison Whampoa Limited (urutan 16) dari Hongkong, Singtel Ltd (66) dari Singapura, Petronas (72) dari Malaysia, dan Samsung (99) dari Korea Selatan.

Sementara dalam daftar 50 TNCs finansial terbesar dunia, ada tiga wakil dari China, yakni Industrial & Commercial Bank of China (urutan 23), Bank of China (34), dan China Construction Bank (39).

Lompatan besar

Menurut data United Nations Conference on Trade and Development, pada tahun 2004 China adalah eksportir terbesar ketiga di dunia untuk barang (merchandise goods) dan kesembilan terbesar untuk jasa komersial, dengan pangsa 9 dan 2,8 persen dari total ekspor dunia.

Volume ekspor China mencapai 325 miliar dollar AS tahun 2002 dan tahun lalu 764 miliar dollar AS. Manufaktur menyumbang 39 persen PDB China. Output manufaktur China tahun 2003 adalah ketiga terbesar setelah AS dan Jepang. Di sektor jasa, China yang terbesar kesembilan setelah AS, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Kanada, dan Spanyol.

Sementara India peringkat ke-20 eksportir merchandise goods (1,1 persen) dan peringkat ke-22 untuk jasa komersial (1,5 persen). Produk nasional bruto (GNP) China tahun 2050 diperkirakan 175 persen dari GNP AS, sementara GNP India sudah akan menyamai AS dan menjadikannya perekonomian terbesar ketiga dunia, mengalahkan Uni Eropa dan Jepang.

Ketika China membuka diri pada dunia dua dekade lalu, orang hanya membayangkan potensi China sebagai pasar raksasa dengan lebih dari semiliar konsumen sehingga sangat menarik bagi perusahaan ritel dan manufaktur dunia. Belakangan, China bukan hanya menarik dan berkembang sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi berbagai produk manufaktur untuk memasok pasar global. China awal abad ke-21 ini seperti Inggris abad ke-19 lalu.

China tidak berhenti hanya sampai di sini. Jika pada awal 1990-an hanya dipandang sebagai lokasi menarik untuk basis produksi produk padat karya sederhana, dewasa ini China membuktikan juga kompetitif dalam berbagai industri berteknologi maju. Masuknya China dalam keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin melapangkan jalan bagi negeri Tirai Bambu ini untuk menjadi kekuatan yang semakin sulit ditandingi di pasar global.

Di sektor padat karya, seperti tekstil dan pakaian jadi, diakhirinya rezim kuota di negara-negara maju membuat ekspor China membanjiri pasar dunia dan membuat banyak industri tekstil dan pakaian jadi di sejumlah negara berkembang pesaing harus tutup. Pangsa ekspor pakaian dari China diperkirakan akan melonjak dari sekitar 17 persen dari total ekspor dunia saat ini menjadi 45 persen pada paruh kedua dekade ini.

Hal serupa terjadi pada produk-produk berteknologi tinggi. Bagaimana China menginvasi dan membanjiri pasar global dengan produk-produknya, dengan menggusur negara-negara pesaing, bisa dilihat dari data WTO berikut.

Pangsa China di pasar elektronik AS meningkat dari 9,5 persen (tahun 1992) menjadi 21,8 persen (1999). Sementara pada saat yang sama, pangsa Singapura turun dari 21,8 persen menjadi 13,4 persen. Kontribusi China terhadap produksi personal computer dunia naik dari 4 persen (1996) menjadi 21 persen (2000), sementara kontribusi ASEAN secara keseluruhan pada kurun waktu yang sama menciut dari 17 persen menjadi 6 persen.

Pangsa China terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 persen (1996) menjadi 6 persen (2000), sementara pangsa ASEAN turun dari 83 persen menjadi 77 persen. Pangsa China untuk produksi keyboard naik dari 18 persen (1996) menjadi 38 persen (2000), sementara pangsa ASEAN tergerus dari 57 persen menjadi 42 persen.

Semua gambaran itu jelas memperlihatkan China terus naik kelas, membuat lompatan besar dari waktu ke waktu, dan pada saat yang sama terus memperluas diversifikasi produk dan pasarnya. Gerakan sapu bersih China di berbagai macam industri—mulai dari yang berintensitas teknologi sangat sederhana hingga intensitas teknologi dan nilai tambah sangat tinggi—ini semakin mempertegas posisi China sebagai the world’s factory memasuki abad ke-21.

Sementara pada saat yang sama, negara-negara tetangganya justru mengalami hollowing out di industri manufaktur berteknologi tinggi dengan cepat. Di industri berintensitas teknologi rendah yang cenderung padat karya, China menekan negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia yang basis industrinya masih sempit, yakni teknologi yang tidak terlalu complicated dan bernilai tambah rendah.

Sementara di industri yang berintensitas teknologi tinggi, China semakin menjadi ancaman tidak saja bagi negara seperti Taiwan dan Korsel, tetapi juga AS dan Jepang. China tidak hanya membanjiri dunia dengan garmen, sepatu, dan mainan, tetapi juga produk-produk komputer, kamera, televisi, dan sebagainya.

China memasok 50 persen lebih produksi kamera dunia, 30 persen penyejuk udara (air conditioners/AC), 30 persen televisi, 25 persen mesin cuci, 20 persen lemari pendingin, dan masih banyak lagi.

Inovasi

Bagaimana China bisa melakukan itu semua? Ada beberapa faktor. Pertama, perusahaan-perusahaan teknologi asing, menurut Deloitte Research, sekarang ini berebut masuk untuk investasi di China, antara lain agar bisa memanfaatkan akses ke pasar China yang sangat besar dan bertumbuh dengan cepat. Kedua, perusahaan-perusahaan lokal yang menarik modal dari investor China di luar negeri (terutama Taiwan) juga semakin terampil memproduksi barang-barang berteknologi tinggi.

Tidak statis di industri padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, China kini mulai lebih selektif menggiring investasi ke industri yang menghasilkan high end products dan padat modal. Ini antara lain untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja murah yang mulai berkurang ketersediaannya.

Ketiga, perguruan-perguruan tinggi di China mampu mencetak barisan insinyur baru dalam jumlah besar setiap tahunnya, dengan upah yang tentu relatif murah dibandingkan jika menyewa insinyur asing. Setiap tahun, negara ini menghasilkan 2 juta-2,5 juta sarjana, dengan 60 persennya dari jurusan teknologi (insinyur). Sebagai perbandingan, di Indonesia lulusan jurusan teknologi hanya 18 persen, AS 25 persen, dan India 50 persen.

Untuk mendukung pertumbuhan industri teknologi tinggi padat modal yang menghasilkan high end products, pemerintahan China juga sangat agresif mendorong berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), sejalan dengan ambisinya menjadi The Fastest Growing Innovation Centre of the World, dengan tahapan, strategi, dan implementasi yang sangat jelas untuk sampai ke sana.

Hampir di setiap ibu kota provinsi ada R&D centre-nya. Positioning strategy ini mengindikasikan China mulai masuk babak kedua dalam pembangunan ekonominya.

Ketiga, negara ini relatif memiliki infrastruktur yang sangat bagus untuk mengangkut komponen dan barang dari luar dan juga di seluruh penjuru negeri. China, dengan 1,3 miliar penduduk, memiliki 88.775 kilometer jalan arteri dan 100.000 kilometer jalan tol, atau rasio panjang jalan per sejuta penduduk 1.384 kilometer.

Sebagai perbandingan, Indonesia dengan 220 juta penduduk baru memiliki jalan arteri 26.000 kilometer dan jalan tol 620 kilometer (121 kilometer per sejuta penduduk). Itu pun sebagian besar dalam kondisi rusak. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah mampu melayani seperlima volume kontainer dunia dan negara ini terus membangun jalan-jalan tol dan pelabuhan-pelabuhan baru.

Keempat, kebijakan pemerintah yang sangat mendukung, termasuk perizinan investasi, perpajakan, dan kepabeanan. Kelima, pembangunan zona-zona ekonomi khusus (20 zona) sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sehingga perkembangan ekonomi bisa lebih terfokus dan pembangunan infrastruktur juga lebih efisien.

Hasilnya, tahun 2004 China berhasil menarik investasi langsung asing 60,6 miliar dollar AS dan 500 perusahaan terbesar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di sana. Bagaimana kompetitifnya China bisa dilihat di tabel. Di sini kelihatan China sudah memperhitungkan segala aspek untuk bisa bersaing dan merebut abad ke-21 dalam genggamannya.

Hal serupa terjadi pada India yang mengalami pertumbuhan pesat sejak program liberalisasi dengan membongkar ”License raj" pada era Menteri Keuangan Manmohan Singh tahun 1991. India kini sudah masuk tahap kedua strategi pembangunan ekonomi dengan menggunakan teknologi informasi (IT) sebagai basis pembangunan ekonominya.

Hampir seluruh pemain bisnis IT dunia sudah membuka usahanya di India, terutama di Bangalore. Tahun 2006, pendapatan dari IT India mencapai 36 miliar dollar AS. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga beranjak ke produk-produk yang memiliki tingkat teknologi lebih kompleks dan bernilai tambah tinggi. Singapura dan Korsel mengarah ke teknologi informasi dan perancangan produk.

Pragmatisme

Bagaimana dengan Indonesia? Prinsip globalisasi adalah adanya pembagian kerja untuk mencapai efisiensi. Sinyalemen bahwa Indonesia dengan tenaga kerja melimpah dan upah buruh murah hanya kebagian industri ”peluh” (sweatshop) seperti pakaian jadi dan alas kaki dalam rantai kegiatan produksi global, terbukti sebagian besar benar.

China, India, dan Malaysia juga memulai dengan sweatshop, tetapi kemudian mampu meng-upgrade industrinya dengan cepat. Hal ini yang tidak terjadi di Indonesia. Kebijakan Indonesia menghadapi globalisasi sendiri selama ini lebih didasarkan pada sikap pragmatisme.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Hadi Soesastro (Globalization: Challenge for Indonesia) mengatakan, kebijakan pemerintah menghadapi globalisasi tidak didasarkan pada pertimbangan ideologis, tetapi lebih pada penilaian obyektif apa yang bisa dicapai negara-negara Asia Timur lain.

Apalagi, saat itu di antara negara-negara di kawasan Asia sendiri ada persaingan, berlomba untuk meliberalisasikan perekonomiannya agar lebih menarik bagi investasi global. Momentum ini didorong lagi oleh munculnya berbagai kesepakatan kerja sama ekonomi regional seperti AFTA dan APEC.

Pemerintah meyakini melalui liberalisasi pasar, industri dan perusahaan-perusahaan di Indonesia akan bisa menjadi kompetitif secara internasional. Sejak pertengahan tahun 1980-an, Indonesia sudah mulai meliberalisasikan dan menderegulasikan rezim perdagangan dan investasinya.

Selama periode 1986-1990, tidak kurang dari 20 paket kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi diluncurkan. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Timur yang memulai program liberalisasi ekonomi dengan liberalisasi rezim devisa.

Namun, dalam banyak kasus, paket kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mendorong sektor swasta waktu itu cenderung reaktif dan tak koheren serta diskriminatif karena sering kali tidak menyertakan kelompok atau sektor tertentu dari program deregulasi. Jadi, tidak mendorong terjadinya persaingan yang sehat.

Pengusaha tumbuh dan menggurita bukan karena ia efisien dan kompetitif, tetapi karena ia berhasil menguasai aset dan sumber daya ekonomi, akibat adanya privelese atau KKN dengan penguasa.

Kini Indonesia terkesan semakin gamang menghadapi globalisasi, terutama di tengah tekanan sentimen nasionalisme di dalam negeri. Di pihak pemerintah sendiri, karena menganggap sudah sukses melaksanakan tahap pertama liberalisasi (first-order adjustment) ekonomi, pemerintah cenderung menganggap sepele tantangan yang menunggu di depan mata.

Ini tercermin dari sikap taken for granted dan cenderung berpikir pendek. Padahal, tantangan akan semakin berat dan kompleks sejalan dengan semakin dalamnya integrasi internasional. Belum jelas bagaimana perekonomian dan bangsa ini menghadapi kompetisi lebih besar yang tidak bisa lagi dibendung.

Jika China yang the world’s factory dan India yang kini menjadi surga outsourcing IT dunia berebut menjadi pusat inovasi dunia, manufacture hub, atau mimpi-mimpi lain, Indonesia sampai saat ini belum berani mencanangkan menjadi apa pun atau mengambil peran apa pun di masa depan. Jika Indonesia sendiri tak mampu memberdayakan dan menolong dirinya serta membiarkan diri tergilas arus globalisasi, selamanya bangsa ini hanya akan menjadi tukang jahit dan buruh.

Menurut seorang panelis, yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2030 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan berdaya sebagai pemenang dalam globalisasi.

Oleh: Sri Hartati Samhadi

sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2658725.htm

Biaya Pendidikan di Indonesia: Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI

BIAYA pendidikan akademis tidak pernah murah. Yang membuat biaya pendidikan terlihat tinggi karena dibandingkan dengan penghasilan rata-rata rakyat Indonesia.

Di zaman kolonial Belanda, pemerintah kolonial sebenarnya tidak berniat mendirikan universitas. Mereka mendirikan hogeschool agar lulusan dapat membantu mission mereka menjajah rakyat Indonesia dengan mudah karena dapat memanfaatkan tenaga inlanders untuk diangkat sebagai pembantu utamanya.

Meski demikian, pemerintah kolonial akhirnya membuat sekolah juga. Pada mulanya, pemerintah kolonial mendirikan sekolah Nederlands Indische Artsen School di Surabaya. Lalu, didirikan School tot Opleiding voor Indische Artsen di Batavia. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta didirikan Algemene Middelbare School (AMS), Middelbare Opleiding School voor Indlandse Amstenaren di Magelang, Middelbare Opleiding School voor Inlandse Bestuur Ambtenaren di Bandung, Middelbare Landbouw School di Bogor dan Ungaran. Juga Veeartsen School di Bogor.

Sekolah-sekolah itu adalah setara dengan jenjang sekolah menengah. Setelah itu, pemerintah kolonial baru mendirikan Rechts Hogeschool (RH) dan Geneeskundige Hogeschool di Jakarta. Di Bandung, pemerintah kolonial mendirikan Technische Hogeschool (TH). Kebanyakan dosen TH adalah orang Belanda.

Pada zaman kolonial (kalau tidak salah ingat), hanya ada seorang pribumi yang menjadi guru besar, yaitu Prof Husein Djajadiningrat, yang kemudian menjabat Direktur Departement Van Onderwijs en Eredienst, disusul kemudian oleh Prof Dr Mr Supomo yang mengajar di RH. Sementara universitasnya baru didirikan setelah Perang Dunia II usai dan pemerintah kolonial mau menjajah kembali Indonesia.



BAGI kaum inlanders atau pribumi, mereka agak sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah tinggi itu. Bahkan, ketika almarhum Prof Roosseno lulus TH, jumlah lulusan yang bukan orang Belanda hanya tiga orang, yaitu Roosseno dan dua orang lagi vreemde oosterling alias keturunan Tionghoa. Bila demikian, lantas berapa orang yang lulus bersama almarhum Ir Soekarno (presiden pertama RI) dan Ir Putuhena? Di zaman pendudukan Jepang, pernah dicari 100 orang insinyur yang dibutuhkan. Padahal saat itu belum ada 90 orang insinyur lulusan TH Bandung.

Biaya kuliah untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang, sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun.

Biaya di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224 kg beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per bulan. Maka, saat itu banyak rekan sekolah saya masuk ke Ambachtschool atau Technische School, karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah lulus.

Meski biaya sekolah mahal, bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomis, tetapi mempunyai bakat dan nilai rapor bagus, kepala sekolah dapat mengajukan pembebasan biaya uang sekolah ke Departement O & E. Biasanya, bila pengajuan pembebasan biaya diajukan oleh Direktur MULO atau AMS, Departemen O & E akan mengabulkan, bahkan amat mungkin siswa bersangkutan juga diberi beasiswa untuk hidup.

Dari pengalaman pribadi, orangtua saya berhenghasilan 100 gulden sebulan. Dengan penghasilan itu, hampir mustahil orangtua saya bisa mengirimkan keempat anaknya menikmati pendidikan tinggi. Meski demikian, dengan kerja keras, saya dan semua adik saya dapat menikmati pendidikan tinggi. Bahkan, saya dan beberapa ratus teman pada tahun awal kemerdekaan, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih miskin, dapat menikmati beasiswa.



PADA tahun 1950, NKRI baru saja menyelesaikan perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda. Toh Pemerintah NKRI yang masih miskin mampu memprogramkan pendidikan bagi kader bangsanya. Ratusan pemuda Indonesia dibiayai Pemerintah NKRI untuk meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dewasa ini NKRI sudah begitu kaya, mengapa beasiswa bagi para kader bangsa tidak lancar? Padahal NKRI ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan penghasilan rakyatnya amat rendah. Kepada mereka yang rajin dan cerdas, sudah seharusnya pemerintah memberikan beasiswa karena pendidikan akademis memang mahal.

Seyogianya industri atau instansi pemerintah menyerahkan tugas penelitiannya kepada universitas sehingga biaya penelitian yang harus dipikul perguruan tinggi dapat dibantu atau bahkan dipikul industri dan instansi pemerintah. Dengan demikian, biaya bagi mahasiswa dapat dikurangi.

Juga cara perguruan tinggi melakukan pembibitan, jangan langsung diambil dari yang fresh graduate. Lebih-lebih kalau dosen muda itu lulusan perguruan tinggi itu karena akan timbul inbreeding bila mereka tidak disekolahkan ke tingkat lanjutan atau dimagangkan di profesi tertentu. Dosen di perguruan tinggi membutuhkan pengalaman kerja di luar perguruan tinggi, di mana mereka dapat menerapkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasai. Maka, di luar negeri banyak profesor yang diambil dari industri atau instansi. Mereka sudah pernah menguji kemampuannya untuk berkompetisi dengan alumni dari perguruan tinggi lain. Setelah diketahui kemampuannya, mereka dipanggil untuk menjadi profesor di perguruan tertentu.

Profesor yang mengajar di universitas seyogianya mampu mengembangkan ilmunya melalui riset yang dilakukan para kandidat doktor yang dibimbingnya. Bila ada profesor yang tidak membimbing doktor, maka risetnya sudah berhenti atau ilmunya tidak berkembang. Mereka yang tidak mampu mempromotori doktor jangan diangkat sebagai profesor, cukup lektor kepala saja. Apakah tugas seorang profesor hanya mengajar dari buku yang ditulis rekannya saja?

Seorang profesor harus mau mengembangkan ilmunya dengan cara mempromotori kandidat doktor bidang ilmunya. Bila tidak demikian, perkembangan perguruan tinggi akan menjadi seperti sekolah menengah atas plus. Pada umumnya, perguruan tinggi mengembangkan ilmu yang dikuasai profesornya, maka biaya untuk belajar di perguruan tinggi selalu mahal. Dari perguruan tinggi inilah timbul inovasi dan kreasi yang selanjutnya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk mempertahankan hidupnya aman dan nyaman.

Perguruan tinggi yang satu akan bersaing dengan perguruan tinggi lainnya, terutama dalam kemajuan ilmu dari hasil risetnya. Mengingat biaya penelitian tidak murah, untuk dapat mengikuti kuliah di perguruan tinggi dibutuhkan biaya tidak sedikit. Bila hasil riset dapat langsung diaplikasikan dan dapat dijual ke industri atau instansi terkait, hasil ini secara kumulatif dapat digunakan membiayai riset berikutnya. Jadi, hasil riset dapat menumbuhkan multiplier effect.



BIAYA mengikuti pendidikan di perguruan tinggi yang mahal bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara mana pun tetap tinggi dan penghasilan para profesornya pun amat memadai. Dengan demikian, tidak ada profesor yang bekerja di tempat lain (nyambi), kecuali di bidang pendidikan.

Di luar negeri, bila ada seorang direktur industri atau instansi dipanggil untuk menjabat profesor di salah satu perguruan tinggi, jabatannya akan ditinggalkan. Karena, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih terhormat dan penghasilannya meningkat. Keadaan ini berbeda dengan situasi perguruan tinggi di Indonesia. Bila seorang profesor diminta menjadi direktur salah satu industri atau instansi, jabatan di perguruan tingginya akan ditinggalkan. Karena, penghasilan profesor di perguruan tinggi Indonesia rendah.

Dengan biaya kuliah yang tinggi, perguruan tinggi diharapkan akan menghasilkan riset dan ilmu yang sepadan. Menurut saya, tidak semua pemuda harus kuliah di perguruan tinggi bila kemampuan berpikirnya tidak cukup baik. Lebih baik mereka masuk akademi yang mengajarkan ilmu terapan, profesi dan kompetensi yang amat dibutuhkan oleh masyarakat.

Sebetulnya, yang dibutuhkan masyarakat adalah ilmu dari seseorang yang dapat disumbangkan, bukan suatu gelar yang menempel pada namanya, tetapi tidak dapat dimanfaatkan masyarakat. Janganlah membanggakan diri dengan gelar yang dijualbelikan seperti pernah disinyalir Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Semoga masyarakat tidak silau melihat beberapa gelar yang dipajang di sekitar nama seseorang.

Oleh: Nakoela Soenarta Guru Besar Ilmu Teknik Mesin di FTUI, ISTN, dan FTUP

Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/pddkn/1190238.htm

Pendidikan Gratis dan Badan Hukum Pendidikan (Melacak Akar Legalitas Privatisasi Pendidikan di Indonesia)

RENCANA Depdiknas untuk membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendidikan formal mandiri dan formal standar, menuai banyak protes. Yang menjadi keberatan khalayak, bukan saja itu dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusia bodoh tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.

Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama sekali.

Nuansa "privatisasi" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.

Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar "kewajiban" pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin terselenggarakannya" pendidikan dari suatu "keharusan". Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".

Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".

Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".



KEMBALI kepada penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).

Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), ""Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat".

Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.

Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.

Bahkan, pemerintah secara gamblang mereposisi posisinya dari penanggung jawab tunggal pendidikan dasar gratis menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap dalam bab pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang berbunyi, "bahwa penerapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP, terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.

Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.

Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.

Kemudian, pada sisi lain, pemerintah juga memberlakukan sistem "guru kontrak". Ke depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di luar itu. Selain itu, kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi beban dalam pendanaan pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang terjadi pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah daerah. Alhasil, pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, sebab kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.

Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi penambahan pendapatan asli daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adanya RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti yang tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.

Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak. Di sinilah hal penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.

Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu, maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar UUD 1945....

M Firdaus Aktivis Jaringan Pendidikan untuk Keadilan
sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/18/Didaktika/1689073.htm

Mau ke Mana Pendidikan Dasar Kita?

MUNGKIN kita perlu bersyukur karena hampir semua anak Indonesia telah memperoleh akses

pendidikan dasar. Meski demikian, kita juga perlu mawas diri. Dalam rangka mawas diri

inilah, saya tidak tahu kita harus menangis atau tertawa jika menengok aneka indikator yang

tersedia untuk dikaji.

Salah satu komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Rata-rata Lama Pendidikan,

menunjukkan angka- angka yang kurang membanggakan, terutama setelah merdeka lebih dari

setengah abad. Angka tertinggi dimiliki Jakarta (9,7 atau setara dengan lulus SLTP),

terutama Jakarta Selatan (10,0 atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah adalah Nusa

Tenggara Barat (5,2 atau setara dengan kelas V SD) dan Kota Sampang, Jawa Timur (2,5 atau

tidak sampai kelas III SD). Apa sebabnya? Setelah lebih dari 60 tahun pendidikan nasional

pascapenjajahan, generasi dengan lama pendidikan 0-10 tahun seharusnya sudah berganti dengan

mereka yang memperoleh akses lebih baik. Mari kita memeriksa dua indikator penting sebagai

berikut:



Akses terhadap pendidikan

Akses terhadap pendidikan memberikan informasi kepada publik tentang berapa banyak anak kita

yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat.

Indikator yang digunakan adalah: Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus Sekolah,

Angka Kelulusan, Angka Melanjutkan, dan Angka Penyelesaian. Angka-angka ini bersumber pada

data Depdiknas 2002. Di tingkat sekolah dasar (SD/MI) hampir semua indikator cukup

memuaskan. Angka Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi (APM: 94,04; APK: 113,95; dan APS:

98,53), berarti hampir semua anak usia 7-13 tahun tertampung di sekolah. Angka Mengulang

(5,4 persen) dan Angka Putus Sekolah (2,7 persen) cukup rendah.

Persoalan timbul ketika kita mengamati Angka Menyelesaikan (tepat waktu) dan Angka

Melanjutkan. Meski kebanyakan anak yang melanjutkan ke SD/MI akan lulus, tetapi hanya

sekitar 71,8 persen yang berhasil menyelesaikan sekolah tepat waktu (enam tahun). Angka

Melanjutkan juga amat mengkhawatirkan, karena hanya separuh (51,2 persen) yang akhirnya

melanjutkan ke SMP/MTs.

Angka Partisipasi di SMP/MTs dan tingkat selanjutnya amat dipengaruhi Angka Menyelesaikan

dan Angka Melanjutkan yang relatif rendah. Di tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup

tinggi (APM: 59,18; APK: 77,44; APS: 77,78) dan Angka Mengulang (kurang dari 0,5 persen

untuk semua kelas) dan Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup rendah. Sekali lagi yang

mengganggu adalah Angka Menyelesaikan karena hanya 45,6 persen yang sanggup menyelesaikan

sekolah tepat waktu.



Kualitas pendidikan

Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat

dengan kualitas pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional,

hasil yang diperoleh adalah baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60

persen dari materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat merisaukan. Jika standar kualitas

itu digunakan untuk menilai kualitas sekolah di tingkat SMP/ MTs, maka hanya 24,12 persen

SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. Di antara mereka hanya 0,03 persen yang

tergolong "baik sekali" dan 2,14 persen tergolong "baik".

Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan siswa : kelas dijadikan salah satu tolok ukur kualitas,

maka kesan yang diperoleh adalah standar mutu telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di

lapangan menunjukkan distribusi guru dan kelas memang tidak merata, terutama antara kota dan

desa. Selain itu, untuk semua provinsi masih ada sekolah-sekolah SD/MI maupun SMP/ MTs yang

harus melakukan jam masuk sekolah ganda (double shift) karena kekurangan ruangan.

Ketersediaan Laboratorium IPA, Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari sekolah SMP/MTs

yang ada meski tanpa ada informasi tentang kelayakan fasilitas yang ada. Kualitas fisik yang

digunakan sebagai tolok ukur adalah kerusakan atau kelayakan ruang kelas. Data menunjukkan,

kurang dari separuh (42,82 persen) fasilitas ruang kelas SD/MI berkategori "baik" dan pada

tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam kategori itu.

Kualitas guru sudah menjadi perhatian nasional. Kriteria kualitas ditentukan dengan

prasyarat pendidikan, yaitu D2 untuk mengajar di SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan

kriteria itu, hanya 49,9 persen guru SD/MI dan 66,33 persen guru SMP/MTs yang memenuhi

standar kualitas. Sayang, standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif tidak tersedia.

Akses terhadap buku pelajaran wajib merupakan tolok ukur kualitas yang penting. Pada tingkat

SD akses terhadap buku adalah 75 persen untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan

IPA. Angka akses terhadap buku menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data yang

tersedia masih ada kesenjangan dalam akses terhadap buku wajib yang berkisar dari 38,8

persen sampai 99,3 persen (persentase penyediaan buku yang paling rendah adalah buku IPA).



Mencari solusi

Rata-rata akses terhadap buku pelajaran wajib pada tingkat SLTP sebesar 70 persen dengan

kesenjangan berkisar dari 37,6 persen sampai 99,5 persen. Dari data yang ada, penyediaan

buku-buku IPA, Fisika, dan Biologi masih terbatas. Selain akses, mutu dari isi pelajaran

juga mungkin bermasalah. Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai contoh, ditemukan isi

buku-buku teks biologi SD-SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan buku

teks geografi SLTP yang menunjukkan banyak informasi yang disajikan sudah usang.

Solusi yang baik berawal dari pengetahuan yang baik atas masalah. Data-data itu tersedia di

lingkungan departemen. Artinya, semua birokrat pendidikan tahu masalah dalam angka itu.

Meski demikian, ada aneka masalah lain yang diketahui, tetapi tak pernah dijadikan kajian

serius dalam policy making. Misalnya, kita tahu dengan subsidi pemerintah, masyarakat mampu

menyekolahkan anak ke SD meski masih banyak yang terseok-seok karena biaya yang dipaksakan,

yaitu buku pelajaran nonterbitan Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi dan makanan

(jajan) untuk anak. Pada tingkat SLTP, biaya jauh lebih besar. Persoalan ini klasik, tetapi

solusi tak ada yang signifikan. Orangtua masih dipermainkan sekolah yang tidak menggunakan

buku terbitan Depdiknas, membeli seragam dan membayar ongkos transpor dan makanan anak

sendiri.

Hal lain yang juga diketahui adalah pengelolaan pendidikan di Indonesia dilakukan Depdiknas

dan departemen lain, khususnya Departemen Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen

ini amat berbeda sehingga menciptakan kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-sekolah berbasis

agama di bawah Departemen Agama banyak dilakukan dalam skala amat kecil sehingga anak tidak

terjamin kelanjutan studinya. Masalah ini diketahui, tetapi jarang dibahas karena sensitif.

Kita juga tahu banyak sekolah SD yang rusak dan tidak layak pakai, tetapi aneka keluhan

bagai teriakan di padang pasir. Penyebabnya jelas, tanggung jawab pembangunan ada di tingkat

kabupaten (Depdagri melalui kantor dinas). Selain persoalan korupsi, tidak semua pemerintah

lokal mempunyai komitmen yang tinggi pada sektor pendidikan.

Kita sadar mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen guru, tetapi kita tidak

dapat melawan kehendak zaman yang kian alergi dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP.

Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena tidak menjanjikan kesejahteraan

finansial dan penghargaan profesional.

Kita tahu untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar secara menyeluruh diperlukan komitmen

tinggi masyarakat dan pemerintah. Masalah ini sering menjadi wacana politik dan tetap

tinggal sebagai wacana seperti dalam grafik berikut. (grafik)

Dibandingkan dengan negara-negara serumpun, komitmen Indonesia sampai tahun 1999- 2001

adalah yang terendah. Kenyataan ini sudah lebih dari dua dasawarsa.

Menghadapi semua masalah yang seharusnya dapat diatasi satu per satu secara serius, kita

justru sibuk mengutak-atik kurikulum, "bermain-main" dengan Ujian Nasional, bereksperimen

dengan sistem pengelolaan sekolah, sibuk dengan menata kembali peristilahan, dan mengacuhkan

berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan mata. Padahal, semua yang kita lakukan

memerlukan sumber daya yang tidak sedikit yang akan lebih baik dialokasikan untuk

menyelesaikan hal-hal yang lebih mendasar dulu. Dalam menyaksikan berbagai gebrakan

Depdiknas, kita bertanya: Mau dibawa ke mana anak- anak kita? Jika pendidikan dasar dikelola

seperti ini, sepuluh tahun lagi angka-angka yang sama akan kita jumpai. Semoga tidak

demikian!

Irwanto Dosen Fakultas Psikologi, Ketua Lembaga Penelitian Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/12/opini/1744895.htm