Laman

Selasa, 06 April 2010

Mau ke Mana Pendidikan Dasar Kita?

MUNGKIN kita perlu bersyukur karena hampir semua anak Indonesia telah memperoleh akses

pendidikan dasar. Meski demikian, kita juga perlu mawas diri. Dalam rangka mawas diri

inilah, saya tidak tahu kita harus menangis atau tertawa jika menengok aneka indikator yang

tersedia untuk dikaji.

Salah satu komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Rata-rata Lama Pendidikan,

menunjukkan angka- angka yang kurang membanggakan, terutama setelah merdeka lebih dari

setengah abad. Angka tertinggi dimiliki Jakarta (9,7 atau setara dengan lulus SLTP),

terutama Jakarta Selatan (10,0 atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah adalah Nusa

Tenggara Barat (5,2 atau setara dengan kelas V SD) dan Kota Sampang, Jawa Timur (2,5 atau

tidak sampai kelas III SD). Apa sebabnya? Setelah lebih dari 60 tahun pendidikan nasional

pascapenjajahan, generasi dengan lama pendidikan 0-10 tahun seharusnya sudah berganti dengan

mereka yang memperoleh akses lebih baik. Mari kita memeriksa dua indikator penting sebagai

berikut:



Akses terhadap pendidikan

Akses terhadap pendidikan memberikan informasi kepada publik tentang berapa banyak anak kita

yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat.

Indikator yang digunakan adalah: Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus Sekolah,

Angka Kelulusan, Angka Melanjutkan, dan Angka Penyelesaian. Angka-angka ini bersumber pada

data Depdiknas 2002. Di tingkat sekolah dasar (SD/MI) hampir semua indikator cukup

memuaskan. Angka Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi (APM: 94,04; APK: 113,95; dan APS:

98,53), berarti hampir semua anak usia 7-13 tahun tertampung di sekolah. Angka Mengulang

(5,4 persen) dan Angka Putus Sekolah (2,7 persen) cukup rendah.

Persoalan timbul ketika kita mengamati Angka Menyelesaikan (tepat waktu) dan Angka

Melanjutkan. Meski kebanyakan anak yang melanjutkan ke SD/MI akan lulus, tetapi hanya

sekitar 71,8 persen yang berhasil menyelesaikan sekolah tepat waktu (enam tahun). Angka

Melanjutkan juga amat mengkhawatirkan, karena hanya separuh (51,2 persen) yang akhirnya

melanjutkan ke SMP/MTs.

Angka Partisipasi di SMP/MTs dan tingkat selanjutnya amat dipengaruhi Angka Menyelesaikan

dan Angka Melanjutkan yang relatif rendah. Di tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup

tinggi (APM: 59,18; APK: 77,44; APS: 77,78) dan Angka Mengulang (kurang dari 0,5 persen

untuk semua kelas) dan Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup rendah. Sekali lagi yang

mengganggu adalah Angka Menyelesaikan karena hanya 45,6 persen yang sanggup menyelesaikan

sekolah tepat waktu.



Kualitas pendidikan

Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat

dengan kualitas pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional,

hasil yang diperoleh adalah baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60

persen dari materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat merisaukan. Jika standar kualitas

itu digunakan untuk menilai kualitas sekolah di tingkat SMP/ MTs, maka hanya 24,12 persen

SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. Di antara mereka hanya 0,03 persen yang

tergolong "baik sekali" dan 2,14 persen tergolong "baik".

Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan siswa : kelas dijadikan salah satu tolok ukur kualitas,

maka kesan yang diperoleh adalah standar mutu telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di

lapangan menunjukkan distribusi guru dan kelas memang tidak merata, terutama antara kota dan

desa. Selain itu, untuk semua provinsi masih ada sekolah-sekolah SD/MI maupun SMP/ MTs yang

harus melakukan jam masuk sekolah ganda (double shift) karena kekurangan ruangan.

Ketersediaan Laboratorium IPA, Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari sekolah SMP/MTs

yang ada meski tanpa ada informasi tentang kelayakan fasilitas yang ada. Kualitas fisik yang

digunakan sebagai tolok ukur adalah kerusakan atau kelayakan ruang kelas. Data menunjukkan,

kurang dari separuh (42,82 persen) fasilitas ruang kelas SD/MI berkategori "baik" dan pada

tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam kategori itu.

Kualitas guru sudah menjadi perhatian nasional. Kriteria kualitas ditentukan dengan

prasyarat pendidikan, yaitu D2 untuk mengajar di SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan

kriteria itu, hanya 49,9 persen guru SD/MI dan 66,33 persen guru SMP/MTs yang memenuhi

standar kualitas. Sayang, standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif tidak tersedia.

Akses terhadap buku pelajaran wajib merupakan tolok ukur kualitas yang penting. Pada tingkat

SD akses terhadap buku adalah 75 persen untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan

IPA. Angka akses terhadap buku menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data yang

tersedia masih ada kesenjangan dalam akses terhadap buku wajib yang berkisar dari 38,8

persen sampai 99,3 persen (persentase penyediaan buku yang paling rendah adalah buku IPA).



Mencari solusi

Rata-rata akses terhadap buku pelajaran wajib pada tingkat SLTP sebesar 70 persen dengan

kesenjangan berkisar dari 37,6 persen sampai 99,5 persen. Dari data yang ada, penyediaan

buku-buku IPA, Fisika, dan Biologi masih terbatas. Selain akses, mutu dari isi pelajaran

juga mungkin bermasalah. Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai contoh, ditemukan isi

buku-buku teks biologi SD-SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan buku

teks geografi SLTP yang menunjukkan banyak informasi yang disajikan sudah usang.

Solusi yang baik berawal dari pengetahuan yang baik atas masalah. Data-data itu tersedia di

lingkungan departemen. Artinya, semua birokrat pendidikan tahu masalah dalam angka itu.

Meski demikian, ada aneka masalah lain yang diketahui, tetapi tak pernah dijadikan kajian

serius dalam policy making. Misalnya, kita tahu dengan subsidi pemerintah, masyarakat mampu

menyekolahkan anak ke SD meski masih banyak yang terseok-seok karena biaya yang dipaksakan,

yaitu buku pelajaran nonterbitan Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi dan makanan

(jajan) untuk anak. Pada tingkat SLTP, biaya jauh lebih besar. Persoalan ini klasik, tetapi

solusi tak ada yang signifikan. Orangtua masih dipermainkan sekolah yang tidak menggunakan

buku terbitan Depdiknas, membeli seragam dan membayar ongkos transpor dan makanan anak

sendiri.

Hal lain yang juga diketahui adalah pengelolaan pendidikan di Indonesia dilakukan Depdiknas

dan departemen lain, khususnya Departemen Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen

ini amat berbeda sehingga menciptakan kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-sekolah berbasis

agama di bawah Departemen Agama banyak dilakukan dalam skala amat kecil sehingga anak tidak

terjamin kelanjutan studinya. Masalah ini diketahui, tetapi jarang dibahas karena sensitif.

Kita juga tahu banyak sekolah SD yang rusak dan tidak layak pakai, tetapi aneka keluhan

bagai teriakan di padang pasir. Penyebabnya jelas, tanggung jawab pembangunan ada di tingkat

kabupaten (Depdagri melalui kantor dinas). Selain persoalan korupsi, tidak semua pemerintah

lokal mempunyai komitmen yang tinggi pada sektor pendidikan.

Kita sadar mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen guru, tetapi kita tidak

dapat melawan kehendak zaman yang kian alergi dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP.

Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena tidak menjanjikan kesejahteraan

finansial dan penghargaan profesional.

Kita tahu untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar secara menyeluruh diperlukan komitmen

tinggi masyarakat dan pemerintah. Masalah ini sering menjadi wacana politik dan tetap

tinggal sebagai wacana seperti dalam grafik berikut. (grafik)

Dibandingkan dengan negara-negara serumpun, komitmen Indonesia sampai tahun 1999- 2001

adalah yang terendah. Kenyataan ini sudah lebih dari dua dasawarsa.

Menghadapi semua masalah yang seharusnya dapat diatasi satu per satu secara serius, kita

justru sibuk mengutak-atik kurikulum, "bermain-main" dengan Ujian Nasional, bereksperimen

dengan sistem pengelolaan sekolah, sibuk dengan menata kembali peristilahan, dan mengacuhkan

berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan mata. Padahal, semua yang kita lakukan

memerlukan sumber daya yang tidak sedikit yang akan lebih baik dialokasikan untuk

menyelesaikan hal-hal yang lebih mendasar dulu. Dalam menyaksikan berbagai gebrakan

Depdiknas, kita bertanya: Mau dibawa ke mana anak- anak kita? Jika pendidikan dasar dikelola

seperti ini, sepuluh tahun lagi angka-angka yang sama akan kita jumpai. Semoga tidak

demikian!

Irwanto Dosen Fakultas Psikologi, Ketua Lembaga Penelitian Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/12/opini/1744895.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar